Walaupun bisnis outsourcing sudah terjadi lebih dari dua dekade yang lalu, namun hingga kini bisnis ini masih eksis digunakan oleh banyak perusahaan di Indonesia. Jika dahulu outsourcing hanya mencakup pekerjaan kecil seperti cleaning services, security, maupun kurir, akan tetapi dengan semakin berkembangnya teknologi sektor pekerjaan outsourcing pun semakin meluas bahkan terlibat dalam produksi intinya.
Beberapa sektor pekerjaan outsourcing saat ini yang dimanfaatkan oleh para pelaku bisnis yaitu sektor logistik, pemasaran, teknologi informasi, keuangan, dan masih banyak lagi. Melalui praktik outsourcing, perusahaan dapat menekan biaya operasional sekaligus meningkatkan kinerja dan fokusnya untuk pertumbuhan bisnis.
Meskipun begitu, masih banyak perusahaan maupun penyedia jasa outsourcing yang belum mengerti akan aturan serta kebijakan pemerintah yang tepat mengenai outsourcing sehingga seringkali terjadi permasalahan dalam prosesnya. Maka dari itu, semua orang yang terlibat dalam bisnis outsourcing harus memahami aturan dan kebijakan tersebut. Apa saja aturan dan kebijakan yang menjelaskan tentang outsourcing? Yuk, simak penjelasannya di sini!
Pengertian Outsourcing
Outsourcing merupakan praktis bisnis dimana perusahaan mengalihdayakan sebagian tugas dan peran tertentu kepada pihak ketiga, yakni penyedia jasa outsourcing dalam jangka waktu tertentu. Secara umum, pihak penyedia jasa outsourcing akan menyediakan layanan berupa tenaga ahli yang mempunyai kompetensi, sertifikasi, serta pengalaman yang cukup untuk membantu mengerjakan, mengelola, serta menyelesaikan pekerjaan dari klien.
Namun, dalam bidang tertentu seperti teknologi informasi penyedia jasa outsourcing juga akan menyediakan layanan dalam bentuk aplikasi, cloud, maupun software untuk sistem informasi perusahaan. Jadi, layanan yang ditawarkan oleh jasa outsourcing ini bermacam-macam tergantung dari kebutuhan klien.
Dengan berkolaborasi bersama pihak outsourcing, perusahaan pun tidak perlu bingung mencari karyawan baru apalagi mengeluarkan biaya lebih untuk perekrutan. Bahkan perusahaan juga dapat meminimalisir biaya pelatihan untuk meningkatkan keterampilan para karyawan internalnya. Sebab tenaga ahli yang disediakan oleh pihak outsourcing sudah terlatih dan bisa langsung dipekerjakan.
Dasar Hukum Outsourcing
Peraturan tentang outsourcing sudah dijelaskan pada UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003. Dalam undang-undang tersebut memang tidak dijelaskan secara rinci mengenai istilah dari outsourcing. Namun, berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 pasal 64-66 tentang ketenagakerjaan diterangkan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dengan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja atau buruh yang dibuat secara tertulis.
Berdasarkan peraturan tersebut, pemerintah memberlakukan syarat untuk outsourcing sebagai berikut:
- Pekerjaan yang diserahkan kepada perusahaan lain atau pihak penyedia outsourcing harus memenuhi beberapa persyaratan seperti: dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama, diperintahkan langsung maupun tidak langsung oleh pemberi kerja, termasuk kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, dan tidak menghambat langsung proses produksi.
- Perusahaan lain (provider/pihak penyedia jasa outsourcing) harus berbentuk badan hukum.
- Perlindungan dan persyaratan kerja bagi tenaga ahli yang disediakan oleh pihak penyedia jasa sekurang-kurangnya sama dengan yang diberikan oleh perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
- Hubungan kerja antara perusahaan dan tenaga ahli outsourcing ditulis dalam perjanjian kerja.
- Hubungan kerja dapat didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).
- Pekerja outsourcing tidak boleh digunakan oleh perusahaan pemberi kerja untuk melakukan kegiatan inti atau yang berhubungan langsung dengan proses produksi. Pekerja outsourcing hanya boleh melakukan kegiatan jasa penunjang saja.
- Pekerja outsourcing yang melakukan kegiatan jasa penunjang atau pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat yaitu: adanya hubungan kerja antara pekerja outsourcing dengan pihak penyedia jasa outsourcing; perjanjian kerja dalam jangka waktu tertentu dibuat tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak; perlindungan upah dan kesejahteraan pekerja, persyaratan kerja, serta perselisihan yang terjadi menjadi tanggung jawab pihak penyedia jasa; perjanjian antara perusahaan pengguna dan penyedia jasa outsourcing dibuat secara tertulis.
- Pihak penyedia jasa outsourcing merupakan bentuk usaha berbadan hukum dan telah mempunyai izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Peraturan outsourcing ini semakin dikuatkan dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 mengenai tata cara perizinan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Peraturan Perusahaan Outsourcing
Menurut Kompas.com, UU Cipta Kerja juga mengatur tentang perusahaan alih daya atau outsourcing. Perusahaan outsourcing ini harus berbadan hukum dan wajib melakukan Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh pemerintah pusat.
Selain itu, aturan hukum outsourcing lainnya juga terdapat dalam aturan turunan UU Cipta Kerja yaitu PP No.35 Tahun 2021 mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), alih daya, waktu kerja dan istirahat, serta Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Baca Juga: Mengenal BPO (Business Process Outsourcing): Tujuan, Fungsi dan Jenisnya
Hak Pekerja Outsourcing
Perlu diketahui bahwa hak pekerja outsourcing juga diatur dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Peraturan ini menjelaskan mengenai:
- Hak atas uang lembur ketika bekerja di hari libur atau hari besar.
- Memahami dan mengikuti semua peraturan perusahaan yang sesuai dengan kontrak.
Sedangkan, berdasarkan pasal 79 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pengusaha wajib memberikan waktu istirahat mingguan kepada para pekerjanya masing-masing. Berikut adalah ketentuannya:
- Satu hari untuk pola waktu kerja 6:1, artinya pekerja bekerja selama enam hari kerja dan mendapatkan satu hari istirahat mingguan.
- Dua hari untuk pola waktu kerja 5:2, yang berarti pekerja bekerja selama lima hari kerja dan mendapatkan dua hari istirahat mingguan.
Perlindungan Hukum Outsourcing
Berikut ini adalah beberapa peraturan yang mengatur tentang perlindungan hukum outsourcing, terutama untuk pekerja outsourcing:
- Undang-undang No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja
- Undang-undang No.3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
- Undang-undang No.21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
- Undang-undang No.11 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
Nah, itulah penjelasan mengenai aturan dan kebijakan hukum yang menjelaskan tentang outsourcing. Pihak penyedia jasa, perusahaan pengguna, dan tenaga kerja outsourcing wajib untuk mengerti dan menerapkan peraturan ini.
Hal ini bertujuan untuk menciptakan proses bisnis outsourcing yang baik dan sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Sedang membutuhkan jasa outsourcing yang memberikan pelayanan terbaik bagi bisnis? Tenang aja, gunakan layanan dari MyRobin.id aja! Tersedia tenaga ahli yang siap kerja serta berbagai layanan menarik lainnya yang dapat menunjang bisnis. Tunggu apalagi, kunjungi MyRobin sekarang dan dapatkan layanan kami!