FOMO (Fear of Missing Out) mengacu pada perasaan atau persepsi bahwa orang lain lebih bersenang-senang, menjalani kehidupan yang lebih baik, atau mengalami hal-hal yang lebih baik daripada Anda. FOMO dapat menimbulkan dan melibatkan rasa iri yang mendalam dan mempengaruhi harga diri
Bukan hanya perasaan bahwa mungkin ada hal-hal yang lebih baik yang dapat Anda lakukan saat ini, tetapi juga perasaan bahwa Anda kehilangan sesuatu yang pada dasarnya penting yang dialami orang lain saat ini.
Fenomena ini menjadi semakin umum terjadi karena media sosial dan dapat menyebabkan stres yang signifikan dalam hidup Anda. FOMO dapat memengaruhi siapapun, tetapi beberapa orang dapat memiliki resiko yang lebih besar. Artikel ini akan membahas apa itu FOMO, sejarah FOMO, dan sampai bagaimana cara untuk meminimalisir FOMO.
Pengertian FOMO
Fear of missing out (FOMO) adalah perasaan cemas atau tidak aman yang muncul ketika seseorang percaya bahwa orang lain mungkin memiliki pengalaman atau kesempatan yang lebih menyenangkan, dan mereka tidak hadir untuk berpartisipasi. Hal ini sering terjadi pada media sosial, di mana orang melihat postingan dan pembaruan tentang acara atau kegiatan yang tidak diundang atau tidak dapat mereka hadiri. FOMO dapat menyebabkan perasaan tidak mampu, kesepian, dan dikucilkan.
FOMO juga merupakan respons emosional terhadap keyakinan bahwa orang lain menjalani kehidupan yang lebih baik dan lebih memuaskan atau bahwa peluang penting terlewatkan. FOMO seringkali menimbulkan perasaan tidak nyaman, ketidakpuasan, depresi, dan stres. Munculnya media sosial telah meningkatkan kebiasaan FOMO dalam beberapa tahun terakhir.
Sejarah Singkat FOMO
FOMO, atau rasa takut ketinggalan, adalah fenomena yang relatif baru yang muncul dengan munculnya media sosial dan teknologi digital.
Istilah “FOMO” pertama kali diciptakan pada tahun 2003 oleh ahli strategi pemasaran Dan Herman, yang menulis tentang rasa takut kehilangan peluang pemasaran potensial. Namun, istilah ini mulai populer di awal tahun 2010-an, ketika platform media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram mulai menjamur di mana-mana.
Aliran pembaruan dan pemberitahuan yang konstan pada platform-platform ini menciptakan rasa urgensi dan FOMO di antara para pengguna, karena mereka merasa tertekan untuk terus mengikuti teman-teman dan lingkaran sosial mereka. Ketakutan akan ketinggalan acara, pengalaman, atau kesempatan yang dinikmati orang lain menjadi tema umum dalam wacana media sosial.
Sejak saat itu, FOMO telah dipelajari oleh para psikolog dan ilmuwan sosial, yang telah mengeksplorasi dampaknya terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan. FOMO telah dikaitkan dengan kecemasan, stres, dan harga diri yang rendah, dan hal ini dipandang sebagai tantangan yang signifikan di era digital.
Saat ini, FOMO terus menjadi aspek yang meresap dalam budaya media sosial, tetapi individu juga semakin sadar akan dampaknya dan mencari cara untuk mengelolanya.
Terinspirasi dari FOMO, beberapa konsep terkait lainnya juga muncul:
- FOBO (Fear of Better Options): Ini mengacu pada rasa takut bahwa Anda akan kehilangan alternatif yang lebih baik.
- MOMO (Mystery of Missing Out): Ini mengacu pada rasa takut bahwa Anda kehilangan sesuatu, namun tidak memiliki petunjuk tentang apa yang Anda lewatkan.
- ROMO (Reality of Missing Out): Ini mengacu pada mengetahui bahwa Anda tidak melewatkan apa pun.
- FOJI (Fear of Joining In): Ketakutan untuk berbagi sesuatu di media sosial tetapi tidak mendapatkan tanggapan apa pun.
- JOMO (Joy of Missing Out): Ini adalah kebalikan dari FOMO dan mengacu pada perasaan positif tentang kehilangan atau memutuskan hubungan dengan media sosial.
Penyebab FOMO Dan Media Sosial
Media sosial adalah salah satu penyebab paling signifikan dari FOMO, karena media sosial menyediakan aliran informasi terbaru tentang kehidupan dan aktivitas orang lain. Melihat postingan dan foto teman dan kenalan yang sedang menikmati acara atau pengalaman dapat memicu perasaan tidak mampu atau dikucilkan. Tidak mengherankan jika remaja menggunakan media sosial dengan tingkat yang tinggi dan mungkin mengalami FOMO sebagai akibatnya. Menariknya, bagaimanapun, FOMO bertindak sebagai mekanisme pemicu peningkatan penggunaan media sosial.
Penyebab lain dari FOMO meliputi:
Bias Ketersediaan
Hal ini mengacu pada kecenderungan untuk melebih-lebihkan prevalensi suatu peristiwa atau kesempatan, yang mengarah pada keyakinan bahwa semua orang melakukan sesuatu yang menyenangkan atau mengasyikkan, dan Anda adalah satu-satunya orang yang ketinggalan.
Perbandingan Sosial
Itu terjadi ketika orang membandingkan diri mereka dengan orang lain, seringkali melalui media sosial, dan merasa gagal.
Pola Pikir Kelangkaan
Ini adalah keyakinan bahwa kesempatan itu terbatas, dan jika Anda melewatkan satu kesempatan, Anda mungkin tidak akan pernah mendapatkan kesempatan lagi.
Tekanan Teman Sebaya
Ini adalah tekanan untuk menyesuaikan diri dengan ekspektasi teman sebaya Anda atau untuk berpartisipasi dalam kegiatan agar tidak ditinggalkan atau dikucilkan.
Anak anak muda dan para remaja mungkin rentan terhadap efek FOMO. Seringkali, ketika mereka melihat teman dan orang lain memposting di media sosial, mereka cenderung akan membandingkan hidupnya dan merasa takut kehilangan pengalaman yang orang tersebut alami.
Penelitian menunjukkan bahwa pada beberapa remaja, FOMO dapat berperan dalam:
- Kecemasan
- Depresi
- Harga diri yang rendah
- Perilaku berisiko
FOMO dapat berkontribusi pada tekanan teman sebaya, yang membuat remaja terlibat dalam perilaku berisiko yang seharusnya mereka hindari. Karena otak remaja masih berkembang, remaja mungkin terlibat dalam tindakan tersebut tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjangnya.
Secara keseluruhan, FOMO dapat disebabkan oleh berbagai faktor, dan penting untuk mengenali dampaknya terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan.
Dampak dari FOMO
Beberapa dampak dari FOMO meliputi kebiasaan terus-menerus memeriksa ponsel ketika sedang menonton film di bioskop, kecenderungan untuk membagikan segala sesuatu di media sosial, serta rasa panik yang timbul ketika membayangkan berada dalam situasi tanpa ponse. Meski konsekuensi tersebut tidak buruk, FOMO juga bisa memicu kebiasaan buruk seperti berkirim pesan saat mengemudi, kebiasaan yang bisa berakibat fatal. FOMO juga bisa bersifat psikologis dan perilaku, berikut adalah beberapa contohnya:
Kecemasan dan stres
FOMO dapat menimbulkan perasaan cemas, khawatir, dan stres, karena individu takut kehilangan pengalaman atau kesempatan yang dinikmati orang lain.
Harga diri yang rendah
Terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain dapat menyebabkan pembicaraan diri yang negatif dan harga diri yang rendah, karena individu merasa bahwa mereka tidak sebanding dengan pencapaian orang lain.
Isolasi sosial
FOMO dapat menyebabkan isolasi sosial, karena individu dapat menghindari situasi sosial atau menarik diri dari kelompok sosial mereka karena mereka takut ketinggalan acara.
Ketidakmampuan untuk fokus
FOMO dapat menyebabkan gangguan dan ketidakmampuan untuk fokus pada tugas-tugas yang sedang dikerjakan, karena individu terus-menerus memeriksa media sosial atau memikirkan apa yang mungkin mereka lewatkan.
Pengeluaran yang berlebihan
FOMO dapat menyebabkan pengeluaran impulsif, karena individu mencoba mengikuti orang lain atau ingin mengalami hal-hal yang mungkin tidak mampu mereka beli.
Cara Mengatasi FOMO
Keterlibatan yang lebih besar dengan media sosial dapat membuat kita merasa lebih buruk tentang diri kita sendiri dan kehidupan kita, bukannya lebih baik. Dengan demikian, ada baiknya kita mengetahui bahwa upaya kita untuk meringankan perasaan FOMO sebenarnya dapat mengarah pada perilaku yang memperburuknya. Mengatasi FOMO bisa jadi merupakan tantangan Namun, memahami dimana letak masalahnya dapat menjadi langkah awal yang baik untuk mengatasinya. Ada beberapa strategi yang bisa efektif dalam mengelola dan mengurangi dampaknya:
Berlatih Olah Mindfulness (Kesadaran Penuh)
Kesadaran dapat membantu seseorang untuk tetap hadir pada saat ini dan fokus pada apa yang mereka lakukan daripada mengkhawatirkan apa yang mungkin mereka lewatkan. Meditasi, pernapasan dalam, dan teknik mindfulness lainnya dapat membantu mengurangi kecemasan dan meningkatkan perasaan tenang.
Batasi Penggunaan Media Sosial
Mengurangi jumlah waktu yang dihabiskan di media sosial dapat membantu mengurangi paparan terhadap pemicu yang dapat menyebabkan FOMO. Individu dapat menetapkan batas waktu yang mereka habiskan di media sosial atau beristirahat sama sekali.
Fokus Pada Rasa Syukur
Berlatih bersyukur dapat membantu mengalihkan fokus dari apa yang tidak dimiliki ke apa yang dimiliki. Menuliskan tiga hal yang disyukuri setiap hari dapat membantu meningkatkan kepositifan dan mengurangi perasaan FOMO.
Terlibat Dalam Kegiatan Yang Bermakna
Terlibat dalam kegiatan yang disukai dapat membantu meningkatkan harga diri dan meningkatkan perasaan puas. Individu dapat merencanakan kegiatan yang sesuai dengan minat dan nilai-nilai mereka, daripada mencoba mengikuti orang lain.
Mencari Dukungan
Berbicara dengan teman, keluarga, atau ahli kesehatan mental dapat membantu individu mengelola perasaan FOMO dan mengembangkan strategi koping. Dukungan dapat memberikan perspektif dan membantu individu merasa tidak terlalu terisolasi dalam pengalaman mereka.
Walaupun FOMO banyak terkait dengan penggunaan media sosial, namun perlu diingat bahwa perasaan tersebut adalah hal yang sangat umum dan dirasakan oleh orang-orang dari berbagai usia.. Setiap orang mengalami beberapa tingkat FOMO pada waktu yang berbeda dalam hidup mereka. Jika Anda merasa tersesat, ada baiknya Anda menghubungi teman atau meluangkan waktu untuk merenungkan hal-hal yang Anda syukuri dalam hidup.
Tindakan seperti ini dapat membantu kita menempatkan segala sesuatunya dalam perspektif saat kita mengumpulkan perasaan hebat dan melepaskan kekhawatiran akan “kehilangan” apa pun. Ingin tahu informasi menarik lainnya seputar karir dan HRD? Yuk, kunjungi langsung blog MyRobin sekarang juga!